Pembina dan Rois Nurul Madinah

Pembina dan Rois Nurul Madinah
KH. Faris Fuad Hasyim dan Raden Sigit Permadi Sadewa

Ziarah Kubur Makam Pangeran Luwung

Ziarah Kubur Makam Pangeran Luwung
Kuncen Makam Pangeran Luwung, Raden Sigit Permadi (Rois Nurul Madinah), Nasrizal, Adi Setiadi

Sholawatan di Musholla Al-Karomah

Sholawatan di Musholla Al-Karomah
Bagus (Santri Songo Nurul Madinah), Taufik, Adi Setiadi, Raden Sigit Permadi(Rois Nurul Madinah), Kusnadi Saputra (Ketua DKM Al-Karomah), Iskandar, Nasrizal

Selasa, 01 Juni 2010

Islam dan Hubungannya dengan Cina

Islam dan Hubungannya dengan Cina
Jum`at, 27 Syafar 1431 H / 12 Februari 2010

Sejak abad-abad awal Islam mulai berkembang, pemerintahan Islam sudah mulai merintis hubungan dengan dunia luar selain semenanjung Arab. Hubungan yang banyak dikenal melalui catatan orang-orang Eropa lebih ditekankan kepada hubungan dagang. Padahal, hubungan yang lebih memiliki ruh adalah hubungan dakwah Islamiyah yang sudah dimulai sejak generasi awal Islam, yakni para Sahabat radhiyallahu ‘anhum. Tercatat dalam sejarah Islam, khalifah Utsman radhiyallahu ‘anhu telah mengutuskan misi diplomatik pertama jauh sebelum orang-orang Arab Islam terjun ke dunia perdagangan. Rombongan diplomatik pertama dikirimkan ke Cina sebanyak 60 orang sahabat dibawah pimpinan Sa’ad bin Abi Waqash, Sang Penakluk Kerajaan Persia yang terkenal. Sampai saat ini masih ada bukti sejarah yang tinggal di Cina sebagai bukti misi diplomatik pertama ini. Di Kanton ada sebuah “makam” Sa’ad bin Abi Waqqash dan ‘makam’ Ibnu bin Abi Waqqash serta enam orang sahabat Nabi lainnya.

Walaupun menurut catatan sejarah Islam yang masyhur, kuburan Sa’ad bin Abi Waqqash berada di Baqi’, Madinah bukan di Kanton. Barangkali yang dimaksud dengan makam disini adalah barang-barang yang dipakai sehari-hari oleh Sa’ad, yang kemudian dikuburkan di Kanton ketika beliau telah kembali ke Madinah. Kemudian kuburan itu diberi nama makam Sa’ad bin Abi Waqqash. Hal ini biasa terjadi dalam perjalanan sejarah Islam. Contoh yang lain adalah ‘makam’ Sunan Kalijogo yang terdapat di Ampel Surabaya dan juga di beberapa tempat di Jawa Tengah. Diyakini makam Sunan Kalijogo yang ada di Ampel hanyalah peralatan dan perbekalan beliau sehari-hari yang dikuburkan disana, seketika beliau pulang ke Jawa Tengah, Demak. Sedangkan kubur asli beliau ada di Jawa Tengah.

Mengenai makam Ibnu Abi Waqqash, beberapa dugaan muncul bahwa kemungkinan Sa’ad bin Abi Waqqash sempat menikah di Cina dan memiliki seorang putera yang dimakamkan di Kanton itu, beserta dengan enam orang sahabat Nabi yang telah dikirimkan dalam rombongan duta Islam pertama.

Pada pertengahan abad ke-8, di zaman dinasti Abbasiyah, telah dilakukan pertukaran duta Islam oleh Amirul Mukminin. Ada beberapa catatan Cina pada abad ke delapan yang menuliskan ‘Amirul Mukminin’ dalam aksara Cina sebagai ‘Han mi momoni’. Khalifah Abul Abbas, yakni khalifah pertama pada Dinasti Bani Abbasiyah tertulis dalam aksara Cina sebagai ‘A bo lo ba’, sedangkan Khalifah Harun dituliskan sebagai ‘A Lun’.

Pada masa Khalifah Dinasti Abbasiyah inilah beberapa komunitas Islam telah menetap di sana. Orang-orang Islam pada masa awalnya, di Cina dikenal dengan sebutan orang-orang Ta Syih, sebuah kata yang berasal dari bahasa Pahlawi, Tajik, yang dalam bahasa Arab modern disebut Tazi. Mungkin istilah ini berasal dari nama sebuah suku di Arab Tayyi’ yang telah mengalami proses Persianisasi. Kemudian seiring perjalanan waktu, orang-orang Islam di Cina disebut sebagai orang Hui Hui, yaitu pengikut Nabi Muhammad (Isaac Mason, dalam buku berjudul Journal of The Most China, Branch of The Royal Asiatic Society, Jilid LX halaman 42-78).

Dalam catatan orang Eropa, Marco Polo, orang Islam di Cina disebut sebagai orang Saracen, yakni nama pedang yang bentuknya melengkung dan ramping yang biasa dipakai oleh orang-orang Arab. Marcopolo dalam catatannya juga menyinggung tentang adanya pemukiman muslim di Korea yang disebut Al Syila.

Salah satu pengaruh Cina pada dunia Islam adalah kertas. Dari negeri Cina inilah pemerintahan Islam di zaman awal mengenal kertas. Bermula, teknik pembuatan kertas dari Cina dibawa ke Samarkand oleh orang-orang Cina. Ketika Samarkand diduduki dan dikuasai oleh orang-orang Islam pada tahun 704 Masehi, mulailah teknik pembuatan kertas dikuasai kaum muslimin. Dan, berdirilah pabrik kertas pertama dalam dunia Islam di Samarkand pada tahun 700-an Masehi itu. Adapun teknik pembuatan kertas yang dipakai adalah berbahan dasar kain linen atau kain rami, di samping juga dari bahan flax. Bahasa Arab kuno menyebutkan kertas dengan kata kaaghad, yang kemungkinan besar berasal dari akar kata yang ada dalam bahasa Cina.

Kemudian kertas mulai dikenal di Baghdad pada abad ke-8 itu juga, yakni dengan berdirinya pabrik kertas pertama di sana. Sebagai pemrakarsa berdirinya pabrik kertas di Baghdad ini adalah Gubernur Khurasan, yang membawahi kota Baghdad saat itu, yaitu Al-Fadhil Ibnu Yahya al-Barmaki. Kebetulan saudara beliau adalah seorang menteri pula pada khalifah Harun al Rasyid, dan menteri ini pulalah sebagai orang yang pertama memakai kertas menggantikan kain perca yang sebelumnya dipakai untuk menuliskan dokumen-dokumen resmi Negara.

Mesir mengenal kertas pada tahun 800-an Masehi( yakni abad ke-9). Sebelumnya, Mesir memang sudah terkenal sebagai negeri pengekspor papirus ke negeri-negeri pemakai bahasa Yunani. Papirus adalah lembaran-lembaran yang luas dipakai untuk menulis, sebelum dikenalnya kertas. Lembaran-lembaran papirus itu disebut orang dengan nama qarathis, dan kemungkinan besar dari kata qarathis inilah muncul kata kertas dalam bahasa Indonesia (qirthas dalam bahasa Arab. Sedangkan kata “paper” dalam bahasa Inggeris, kemungkinan besar berasal dari kata papirus). Kertas-kertas buatan Mesir dan Tripoli memiliki kualitas terbaik bahkan mengalahkan kertas cetakan Samarkand yang lebih dahulu mengenal teknik pembuatan kertas. Sementara Maroko, negeri paling Barat dari benua Afrika, baru mengenal kertas pada tahun 1100 masehi dan Spanyol, Eropah, mengenalnya pada tahun 1150 masehi. Kertas di kedua negeri ini dicetak dengan kualitas tinggi, dengan warna warni yang beragam, dan tidak hanya kertas berwarna putih saja, seperti sebelumnya. Dengan demikian, meluaslah penggunaan kertas di wilayah Islam seiring dengan terpinggirkannya pemakaian papyrus, kain perca dan linen. Kejadian ini berlangsung pada paruh abad kesepuluh Masehi.

Dengan ditemukan dan dipakainya kertas secara luas, dunia Islam mulai pula mengenal kitab-kitab yang bertulis dan bercetak dengan menggunakan kertas. Manuskrip tertua tentang hadis adalah karya ‘Ubaid al Qosim ibnu Salam, wafat 837 masehi, berjudul Ghorib al Hadist, dicetak pada bulan Dzulqaidah tahun 252 H (866 M), sekarang disimpan di Perpustakaan Leiden. Uang kertas yang juga berasal dari Cina telah dicetak dalam bahasa Arab dan Cina pada tahun 1294 M. di Tibris, salah satu tempat tertua di dunia Islam yang dikenal sebagai tempat Percetakan Batu Tulis.

Di sisi lain, salah satu bekas pengaruh Islam terhadap Cina, yang masuk ke Cina melalui penjajahan Mongol dan Manchu adalah huruf-huruf Alphabet Uighuria, Cina Utara yang tidak diragukan lagi berasal dari Alfabet Suriah. Kita ketahui bahwa Suriah ini pernah menjadi Ibukota dan pusat kekuasaan Islam Pada masa Bani Umayyah. Selain pengaruh pada alphabet Uighuria di Cina, jejak-jejak pengaruh Islam masih juga dapat dilihat sampai sekarang. Terbukti hampir seratus persen suku Uighur Cina yang memeluk agama Islam sampai sekarang ini.

Pengaruh Cina di Negeri Nusantara

Negeri Cina yang memiliki populitas Islam yang kecil, ternyata sempat memberikan sentuhan Islam pula ke negeri Nusantara. Ini terjadi pada saat utusan legendaris Cina, Laksamana The Hoo, (Indonesia menyebutnya Cheng Hoo), mendatangi negeri-negeri Nusantara dalam misi diplomatiknya. Di Aceh, sebuah kerajaan Islam besar di ujung Sumatera, Cheng Hoo memberikan sebuah lonceng besar tanda persahabatan kepada Sultan Aceh. Dan, sampai saat ini lonceng tersebut masih ada diletakkan di depan museum Aceh. Tercatat Cheng Hoo mengunjungi Aceh sebanyak dua kali. Dalam catatan Cina terdapat nama sultan Aceh yang memerintah kerajaan Samudera. Sultan itu bernama Zainul Abidin, dalam catatan Cina disebut Chainuli A Piting Ki.

Selain di Aceh, jejak Cheng Hoo juga ada di Palembang, Semarang, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Kuil Sam Phoo Kong diyakini sebagai bekas Masjid yang didirikan dan dipakai untuk beribadat oleh Cheng Hoo dan pasukannya ketika mampir di Semarang. Kini, di Surabaya sudah dibangun sebuah masjid bergaya arsitektur Cina dan diberi nama Masjid Laksamana Cheng Hoo, sebagai sebuah penghargaan atas jerih payah Jendral da’i Cina ini, menjalin silaturrahmi ke negeri Nusantara.

Di Jakarta sendiri, beberapa masjid diyakini dibangun oleh tokoh-tokoh Cina yang tinggal di Betawi ratusan tahun yang lalu. Dan salah satunya adalah masjid Kebun Jeruk Jalan Hayam Wuruk Jakarta Pusat. Keberadaan masjid ini dilindungi oleh Pemerintah Daerah Istimewa Jakarta sebagai salah satu cagar budaya Betawi. Di samping masjid Kebun Jeruk, masih ada beberapa masjid tua lainnya yang diyakini dibangun oleh tokoh-tokoh Cina Betawi di Jakarta dan sekitarnya.

Sementara di Medan, tokoh Cina yang menjabat sebagai Kapitan Cina di Medan pada zaman penjajahan Belanda, telah pula membangun sebuah masjid yang megah dengan arsitektur Cina. Masjid itu terletak di Jalan Masjid, Medan Kota, dan sampai sekarang masih menjadi masjid kebanggan warga kota Medan. Banyak orang Islam di Medan meyakini bahwa Chong A Pie, sang pendiri masjid ini diam-diam sudah masuk Islam. Menurut cerita beberapa orang guru kami, beliau sangat rajin bersedekah kepada orang orang Islam, terutama di bulan suci Ramadhan. Khususnya pada musim haji, banyak juga tokoh-tokoh Islam yang diberi dana untuk naik haji oleh Chong A Pie ini.

Bangunan- Bangunan Masjid di Cina

Negeri Cina sudah mengenal pembangunan masjid sejak masa zaman shahabat nabi, yakni masa Islam paling awal. Salah satu masjid tertua adalah masjid Huaiseng yang dibangun oleh Sa’ad bin Abu Waqash, seorang shahabat nabi yang merupakan utusan diplomatik Islam pertama. Sa’ad bin Abi Waqash diutuskan oleh Khalifah ketiga Ustman bin Affan Ra.hu, dan diterima oleh kaisar dinasti Tang yang memerintah Cina sejak tahun 618-907 Masehi. Saat itu, Kaisar yang menerima utusan diplomatik Islam pertama adalah Kaisar Kao Tsung. Kaisar inilah yang memberikan izin tinggal pada komunitas Islam pertama di negeri Cina. Sa’ad bin Abi Waqash kemudian tercatat sebagai pembangun masjid Huaiseng yang terletak di Kanton itu, kini di sebut Quangzhou (orang Arab menyebutnya Kanfu). Masjid ini sampai sekarang masih berdiri tegak, dengan ada tidak kurang dari enam buah kuburan shahabat nabi di sana.

Perlu dicatat, bahwa hal ini adalah salah satu bukti kuat yang menunjukkan para shahabat nabi tidak mengharamkan menguburkan seseorang yang telah wafat di halaman masjid. Sehingga tidak heran jika sejak ribuan tahun ada berjuta-juta masjid yang dihalamannya terdapat kuburan! Faham shahabat nabi ini sekarang dihina sebagai faham syirik oleh segelintir umat Islam puritan! Lantas siapakah yang lebih faham akan ajaran Islam dan sunnah nabi dibandingkan para shahabat nabi…….?

Masjid kedua yang dibangun di Cina adalah Masjid Zhen Jiao Si, yang dalam bahasa Indonesia artinya adalah Masjid Agama yang Benar, dibangun oleh dinasti Tang di propinsi Zhejiang.

Adalagi masjid Da Qingzhen Si berada di propinsi Shaanxi, tepatnya di daerah Xi’an (dahulu disebut Chang An), selesai dibangun tahun 742 M. Masjid ini merupakan masjid terluas di Cina yang dibangun di atas tanah seluas 12 ribu meter persegi.

Selain itu, masjid yang sudah berusia ratusan tahun adalah masjid yang dikenal sebagai Masjid Shahabat yang dalam bahasa Cina disebut Sheng You Si. Pemerintah dinasti Song membangun masjid ini pada tahun 1009 M, sebagai wujud rasa persahabatan dengan kaum muslimin di sana.

Dengan demikian, nampaknya hadits nabi yang mengatakan “Tuntutlah ilmu walau ke negeri Cina sekalipun”, ada benarnya, meskipun ada segelintir orang yang meragukan keabsahan hadits nabi ini. Terbukti dengan telah adanya hubungan timbal balik antara Islam dan Cina bahkan sejak zaman awal Islam baru berdiri, yakni di zaman Khalifah Utsman bin Affan Radhiyallahu ‘anhu. Nah, apakah Sayyidina Utsman bin Affan mengirimkan utusan Islam ke Cina karena pernah mendengar hadits di atas?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar