Pembina dan Rois Nurul Madinah

Pembina dan Rois Nurul Madinah
KH. Faris Fuad Hasyim dan Raden Sigit Permadi Sadewa

Ziarah Kubur Makam Pangeran Luwung

Ziarah Kubur Makam Pangeran Luwung
Kuncen Makam Pangeran Luwung, Raden Sigit Permadi (Rois Nurul Madinah), Nasrizal, Adi Setiadi

Sholawatan di Musholla Al-Karomah

Sholawatan di Musholla Al-Karomah
Bagus (Santri Songo Nurul Madinah), Taufik, Adi Setiadi, Raden Sigit Permadi(Rois Nurul Madinah), Kusnadi Saputra (Ketua DKM Al-Karomah), Iskandar, Nasrizal

Senin, 31 Mei 2010

Apakah Sufi itu dan dari mana asal muasalnya?

Shufi adalah sekumpulan umat islam yang mencoba menguasai nafsunya dan melatih nafsu itu menjadi nafsu muthamainah, nafsu yang telah mencapai martabat yang diridhai Allah swt. Kata Shufi itu sendiri berasal dari beberapa kata yang berbeda. Ada yang mengatakan berasal dari kata ash shofa’ atau ash shofwu yang berarti kejernihan. Ada yang mengatakan berasal dari kata ash shuf artinya kain bulu domba, karena ahli shufi sering memakai kain kasar yang terbuat dari bulu domba. Ada yang mengatakan kata shufi berasal dari shuffah, merujuk pada teras Masjid Nabawi yang menjadi tempat tinggal para sahabat nabi yang miskin tidak mempunyai rumah serta keluarga.

Ahli shufi adalah orang yang menekuni ilmu tasawwuf yakni cabang ilmu yang membahas tentang sifat-sifat terpuji pada hati dan sifat-sifat tercela yang menjadi penyakit hati. Dalam cabang ilmu tasawwuf orang diajak berfikir dan beramal untuk menjernihkan hati agar mampu menjadi insan yang sempurna. Para ulama ahlussunnah wal jamaah telah membagi cabang ilmu Islam menjadi tiga bagian: pertama cabang ilmu tauhid (keimanan), kedua cabang ilmu fiqih (syariat) dan ketiga cabang ilmu tasawwuf (akhlak, moral).

Ketiga cabang ilmu ini saling berhubungan dan tidak mungkin dipisahkan satu dengan lainnya. Ketiga-tiganya adalah satu kesatuan belaka. Mencoba memisahkan ketiga ilmu ini akan mengurangi kesempurnaan pemahaman dalam agama Islam.

Namun sayang, sejak 700 tahun yang lalu sampai saat sekarang ini ada satu golongan yang menyebut diri mereka sebagai pengikut salaf, yang tidak henti-hentinya dan sangat bernafsu hendak memberangus ilmu tasawwuf. Mereka juga setiap saat dalam setiap kesempatan selalu memfitnah ahli shufi. Pernyataan mereka selalu keras dan tajam menuduh semua ahli shufi adalah kaum yang sesat bahkan menyamakan ahli shufi yang sudah mati-matian mencoba mengasah batin mereka dengan meredam nafsu, dengan pengikut Budha. (baca buku Tasawwuf Ajaran Budha).

Dalam Bahasa Inggeris Tasawwuf disebut MORALITY atau ETHICS, yakni pelajaran Moral atau Etika. Nah, bagaimana Moral dan Etika dikatakan bid'ah serta akan dimasukkan ke neraka? Tidak masuk akal, bukan...?

Sewajibnya sebagai umat Islam kita berhati-hati dalam menyikapi tuduhan kelompok salafy ini agar tidak ikut-ikutan terjerumus dalam gerakan memberangus ajaran tasawwuf dan ahli shufi.

Sunnah Dzikir Setelah Sholat

Para ulama sedunia telah sepakat bahwa sunnat hukumnya bagi kaum muslimin untuk melakukan dzikir setelah selesai sholat fardhu lima waktu. Bahkan, juga disunnatkan membaca dzikir-dzikir setelah selesai melakukan sholat-sholat sunnat. Ada banyak sekali hadis-hadis Nabi yang shahih berkenaan dengan dzikir setelah selesai melaksanakan sholat. Sedangkan lafazh-lafazh (bacaan-bacaan) dzikir yang diajarkan pun berbeda-beda satu dengan lainnya.

Dalil yang masyhur tentang dzikir dan doa setelah selesai sholat adalah hadis dari Abi Umamah radhiyallahu ‘anhu yang menceritakan: “Telah ditanyai Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, “Kapankah doa didengar (dimustajabkan) oleh Allah?” Rasul menjawab: “Doa yang dilakukan di tengah malam dan setelah selesai melaksanakan sholat fardhu lima waktu (Hadis Riwayat Imam Turmidzi, hasan shahih).

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam telah menunjukkan kepada kita bahwa dzikir setelah selesai sholat itu sunnat hukumnya dan dilakukan dengan mengeraskan suara. Nabi dan para Sahabat melakukan dzikir dengan suara keras ini pada zaman Nabi masih hidup. Dengan demikian tuduhan bahwa berdzikir dengan suara keras adalah perbuatan bid’ah sama sekali tidak ada dasarnya. Malah perbuatan yang sunnah adalah mengeraskan suara saat berdzikir setelah selesai sholat lima waktu itu.

Ada juga sebahagian kecil kaum muslimin yang mengatakan bahwa jika selesai sholat fardhu orang-orang melakukan dzikir bersuara, maka hal ini akan mengganggu kekhusyu’an orang-orang yang ingin melaksanakan sholat sunnat. Perkataan mereka itu hanya pendapat akal semata, dan tidak ada landasan hadisnya sama sekali. Sayangnya, meskipun hanya berdasarkan pendapat akal saja, mereka berani melarang orang untuk berdzikir dengan bersuara keras di masjid-masjid. Padahal kalau dilihat pada hadis Nabi, melarang orang melakukan dzikir dengan bersuara di masjid justru merupakan perbuatan yang melanggar sunnah Nabi, karena tidak didapati sepotong hadis pun yang Nabi melarang umat melakukan dzikir bersuara itu.

Perkataan mereka yang mengatakan dzikir itu mengganggu orang sholat sunnat juga keliru, sebab Nabi telah mengajarkan agar setelah selesai sholat fardhu, afdholnya kaum muslimin berdzikir terlebih dahulu, bukan langsung buru-buru melakukan sholat sunnat tanpa berdzikir terlebih dahulu. Tegasnya, dzikir setelah selesai sholat adalah perintah Nabi! Lantas bagaimana perbuatan yang hanya didasarkan pada pendapat akal dapat diterima, sampai dipakai pula untuk tmenggusur sunnah Nabi yang ada dalam hadis-hadis shahih…..?

Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma, saudara sepupu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam telah menceritakan sebuah hadis yang shahih. Hadis itu berbunyi, “Kami mengetahui Nabi dan para Sahabatnya telah selesai mengerjakan sholat fardhu di masjid dengan mendengar suara takbir mereka……”(Hadis Riwayat Bukhari Muslim). Dalam hadis yang lain, Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma mengatakan, “Adalah berdzikir dengan mengeraskan suara setelah selesai mengerjakan sholat fardhu telah dilakukan pada zaman Rasulllah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Dan aku mengetahui mereka telah selesai mengerjakan sholat fardhu itu karena mendengar suara dzikirnya itu.” (Hadis Riwayat Bukhari Muslim, Lihat kitab Al Adzkar Imam Nawawi, halaman 77).

Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma mendengar suara Nabi dan Sahabat berdzikir sampai terdengar ke rumah beliau tentu karena suara dzikir itu keras. Jika dzikirnya tidak bersuara, bagaimana mungkin beliau mendengar suara dzikir tersebut? Saat mendengarkan suara dzikir Nabi dan para Sahabat, diyakini Abdullah bin Abbas saat itu masih kecil dan belum ikut sholat berjama’ah ke Masjid Nabawi.

Keterangan dalil berdzikir bersuara ini telah dibahas secara panjang lebar oleh Imam Ibnu Hajar Al Asqalani, dalam Kitab Fathul Bari, Syarah Hadis Bukhari, Jilid II, halaman 591-610. Dan seorang ulama salafy, Syekh Utsaimin pun sudah mengakui sunnah hukumnya berdzikir bersuara itu dalam kitab Ensiklopedi Bid’ah. Namun, meskipun demikian, jika ada yang mau mengerjakan dzikir itu tanpa bersuara, menurut faham Ahlussunnah Wal Jama’ah masih merupakan amalan sunnah juga.

Beberapa bacaan-bacaan dzikir dan doa yang telah dibuat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pada masa hidup beliau, antara lain:

  1. Dari Tsauban radhiyallahu ‘anhu beliau mengatakan bahwa Rasulullah beristighfar (membaca astaghfirullahal ‘azhim) tiga kali setiap selesai sholat. Kemudian Nabi membaca doa, “Allahumma antassalam wa minkassalam tabarakta ya dzaljalali wal Ikram.” (Ya Allah Engkaulah Assalam, dan dari Engkaulah segala Keselamatan, Maha Mulia Engkau Wahai Yang Memiliki Keperkasaan dan Kemuliaan). (Hadis Riwayat Imam Muslim).
  2. Dari Al Harits at Tamimi radhiyallahu ‘anhu adalah Rasulullah telah mengajarkan kepadanya secara diam-diam (berbisik): “Apabila engkau telah selesai mengerjakan sholat magrib, maka bacalah olehmu, “Allahumma ajjirni minannaar” (Ya Allah selamatkan aku daripada azab neraka) sebanyak 7 kali, karena apabila engkau mati pada malam itu ketika engkau telah membaca doa tadi, maka wajib atasmu apa yang kau minta itu. Apabila engkau selesai sholat subuh maka bacalah doa yang sama sebanyak 7 kali, karena sesungguhnya jika engkau mati di siang harinya, maka wajiblah atasmu apa yang engkau minta (yakni kebebasan dari neraka).” (Hadis Riwayat Muslim dan Abu Dawud).
  3. Dari Al-Mughirah bin Syu’bah radhiyallahu ‘anhu, adalah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam apabila telah selesai mengerjakan sholat dan memberi salam maka Beliau berdoa: “Laa ilaha illallah wahdahu la syarikalah, lahulmulku wa lahulhamdu wahuwa ‘ala kulli sya-in qadir.” (Tiada Tuhan yang disembah selain Allah, Maha Esa lagi tiada sekutu bagi-Nya, bagi-Nyalah segala kekuasaan, dan bagiNyalah segala Pujian, dan Dia atas segala sesuatu Maha Kuasa). (Hadis Riwayat Bukhari dan Muslim). Tetapi ada tambahan kalimat yuhyi wa yumit (Yang Maha Menghidupkan dan Maha Mematikan), setelah kata wa lahulhamdu. Bacaan ini sudah biasa diamalkan oleh kaum muslimin di Indonesia selama ratusan tahun pula. Amalan dan tambahan kalimat itu dikutip dari Hadis Riwayat Imam Turmudzi, Hasan Shohih. Hal ini penting kami tuliskan karena ada segelintir umat Islam yang rajin menuduh bid’ah kepada orang yang menambahkan kalimat yuhyi wa yumit itu, padahal sebenarnya tambahan kalimat ini justru sunnah Nabi, bukan bid’ah!
  4. Kemudian Nabi membaca doa: “Allahumma laa mani’a lima a’thaita, wa laa mu’thiya lima mana’ta wa laa yanfa’ul jad minkal jad.” (Ya Allah,tiada yang dapat mencegah akan apa yang telah Engkau berikan, dan tidak ada yang dapat memberi akan apa yang telah Engkau cegah. Dan tidak memberi manfaa orang yang memiliki kesungguhan, karena kesungguhan adalah dari Engkau. (Hadis Riwayat Bukhari dan Muslim).
  5. Kemudian Nabi juga ada membaca doa: ”La hawla wala quwwata illa billahi, la ilaha illah wa la na’budu illa iyyahu, lahunni’matul walfadhlu walahutstsina-ul hasanu, La ilaha illah mukhlishina lahuddina, walaukarihal kafirun.” (Hadis Riwayat Muslim). Abdullah bin Zubair radhiyallahu ‘anhu mengatakan bahwa Nabi menyuarakan takbir ini setiap selesai sholat lima waktu. Ini juga merupakan salah satu lagi dalil berdzikir bersuara (jahar) setelah sholat fardhu. (Lihat Al-Adzkar, Imam Nawawi halaman 77).
  6. Rasulullah ada mengajarkan para shahabat yang miskin-miskin untuk melakukan dzikir setelah sholat fardhu: “Ucapkanlah olehmu, “Subhanallah, Alhamdulillah, dan Allahu Akbar setelah selesai sholat fardhu sebanyak 33 kali”. (Hadis Riwayat Bukhari dan Muslim). Hadis ini lebih dijelaskan lagi dalam syarah hadis Abu Sholih yakni orang yang meriwayatkan hadis ini langsung dari Abu Hurairah bahwa cara mengerjakannya adalah sekaligus digabungkan/disatukan seperti ini: “Subhanallah…walhamdulillah…wallahu Akbar…semuanya total berjumlah 33 kali. Dalam hadis riwayat Imam Muslim dari Ka’ab bin Ujrah radhiyallahu ‘anhu, Nabi telah bersabda: “Senantiasa tidak kecewa orang yang membaca dzikir setelah sholat fardhu dengan kalimat; Subhanallah 33 kali, Alhamdulillah 33 kali, dan Allahu Akbar 34 kali.” (Hadis Riwayat Muslim). Dzikir ini dibuat secara terpisah, tidak bergabung menjadi satu seperti amalan hadis yang sebelumnya.” Meskipun cara ini sedikit berbeda, namun tetap sunnah dan telah diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Dalam hadis yang lain dikatakan setelah membaca Subhanallah 33 kali, Alhamdulillah 33 kali, Allahu Akbar 33 kali, maka hendaklah disempurnakan menjadi seratus kali dengan kalimat, ; “La ilaha illallah wahdahu laa syarikalah lahul mulku walahul hamdu wa huwa ‘ala kulli syai-in qadir”. Maka siapa yang melakukan hal ini akan diampunkan Allah seluruh dosa-dosanya walau dosanya sebanyak buih di lautan. (Hadis Riwayat Muslim).
  7. Dan diriwayatkan dalam kitab Ibnu Sunni oleh Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu telah berkata dia: “Adalah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam jika telah selesai mengerjakan sholatnya, maka Beliau mengusap keningnya dengan tangan kanannya kemudian beliau membaca, “Asyhadu anlaa ilaaha illallah, arrahmaanurrahim, Allahummadz hib ‘annil hamma wal hazan.” (Aku bersaksi tiada Tuhan selain Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Mengasihani, Ya Allah buanglah daripadaku kegunda-gulanaan dan kesedihan).
  8. Dan diriwayatkan dengan sanad yang shahih dalam kitab Sunan Abu Dawud dan Nasai dari Mu’adz bin radhiyallahu ‘anhu: “Adalah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam telah memegang tanganku seraya Nabi bersabda, “Wahai Mu’adz, demi Allah sesungguhnya aku sangat mencintaimu. Kemudian Beliau menyambung ucapannya lagi, “Aku berwasiat kepadamu wahai Mu’adz, janganlah engkau meninggalkan bacaan dzikir ini setelah selesai melakukan sholat. Ucapkanlah olehmu, “Allahumma a’inni ‘alaa dzikrika wa syukrika wa husni ‘ibadatik.” (Ya Allah, tolonglah aku dalam mengingatMu dan bersyukur kepadaMu dan beribadah kepadaMu dengan sebaik-baiknya).

Fastabiqul Khairat

Berbuat kebajikan adalah perintah Allah dan juga perintah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Tempat untuk berbuat kebajikan adalah alam dunia ini, yaitu selagi nyawa di kandung badan. Setelah mati, seseorang tidak akan dapat lagi berbuat sebuah kebajikan apapun juga. Seluruh amalnya akan berhenti; dia tidak lagi dapat melaksanakan shalat, berpuasa, berhaji, membaca Al Qur’an atau mensedekahkan hartanya dalam rangka mendapatkan buah kebajikan. Oleh karena itu kesempatan berbuat amal kebajikan hanyalah ketika hidup di dunia ini saja.

Ada dua lapangan kebajikan yang dapat diperbuat sebagai amal shalih bagi setiap mu’min. Yang pertama adalah kebajikan secara vertikal, kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala seperti; shalat, dzikir, membaca Al Qur’an, berpuasa, menunaikan ibadah haji dan lain-lain; kedua adalah kebajikan yang bersifat horizontal kepada sesama makhluk Allah seperti; bersedekah, mengajarkan ilmu, memberi nasihat dan bantuan material, membina sarana sosial dan lain-lain.

Baginda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: “Manusia terbaik adalah orang yang paling banyak memberi manfaat kepada orang lain”. Artinya, semakin banyak seseorang itu mengorbankan diri dan hartanya bagi kemaslahatan ummat, maka semakin tinggilah kedudukannya di sisi Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Islam tidak mengajarkan seseorang itu bersifat egois, hanya mementingkan diri sendiri saja.

Ada orang yang baik hubungan vertikalnya kepada Tuhan, tetapi sangat buruk budi dan akhlaknya kepada sesama makhluk. Orang seperti ini tidak termasuk dalam golongan orang yang baik, karena dia tidak memberi manfaat kepada orang lain. Betapa banyak hari ini orang-orang yang hanya memikirkan segala sesuatu yang berhubungan dengan aku; anakku, istriku, hartaku, rumahku, jabatanku, kedudukanku, kepentinganku, ku…ku…dan ku

Di awal tahun ini, Mari berlomba-lomba berbuat kebajikan sebanyak-banyaknya. Dan rebutlah tempat terbaik di akhirat sebagai balasan atas usaha kita di dunia ini. Fastabiqul Khairat….!!

Minggu, 30 Mei 2010

Sholawatan Itu Menggedor-gedor Hatiku

Bagaikan angsa, yang menemukan pematang sawah dikala sore hari yang indah, dengan cahaya matahari mulai memudar disudut awan putih.

Tiap momen-momen tertentu, ketika melihat beberapa orang, dengan pakaian putih bersih, sarung putih, serta kopyah yang terpakai dikepala. Berkumpul di sebuah tempat yang bersih bernama masjid, duduk bersila seraya mengidungkan lantunan sholawat.

Bait pertama sholawatan, mulai menyergap seperti es. Dingin, begitu dinginnya, hingga tak kuasa kaki ini melangkah. Saya, mengambil tempat untuk duduk, karena tak kuat berdiri. Bukan karena belum makan atau karena kecapekan.

Lantunan shalawat terus menggema, pembaca yang budiman. Tahukah anda, saat itu tubuh ini semakin menggigil.

Saya tidak tahu kenapa? Syair-syair cinta rasul itu melemahkan segala ke”akuan” yang saya miiliki. Satu tetes batu, mulai mengalir pelan dari mata. Saya tak tahu lagi, kenapa ini? Kata orang sebagai laki-laki tak boleh cengeng. Tetapi ini tak berlaku bagi saya ternyata.

Sholawatan terus saja mengoncang-goncang hati saya. Kepala tertunduk, rasa dingin yang tadi menghadiri saya hilang pelan-pelan. Entah terbang keman, saya tidak tahu. Kala dingin itu hilang, hati ini terselimuti oleh rasa hangat.

Saya tidak tahu lagi kenapa ini? Pelan-pelan, saya membaikkan hati, menata hati, namun mata sudah menjadi merah. Saya tak mengerti kenapa? Sayang, ketika itu saya tak membawa kaca mata hitam, untuk menutupi mata yang bengkak.

Topi berhias permata, sepeda berkayuh cinta.

Hati yang sepi bagai malam purnama, sholawatan datang menjemput untuk meneduhkan jiwa.

Selasa, 25 Mei 2010

Indahnya Sakit

Malam seolah berlalu bersama tenggelamnya matahari. Angin berhembus terasa dingin sekali. Malam itu anak-anak Amalia terilhat sibuk membuat 'MADING.' (Majalah Dinding). Wajah mereka terlihat gembira. Kegembiraan diwajah mereka terdengar suara riuh bertanda hadirnya kebahagaiaan. Lantunan shalawat nabi oleh Eko terdengar sahdu.

Malam itu di Rumah Amalia kedatangan seorang tamu. Beliau seorang Wirausaha yang sukses. Beliau sangat peduli dengan kesejahteraan karyawannya, semua karyawan mengorhormatinya namun disisi lain dirinya adalah orang yang jauh dari Allah Subhanahu Wa Ta'ala. Sampai datanglah 'sentilan' Allah untuknya. Tiba-tiba tubuhnya limbung dan jatuh sakit. Harta yang dimilikinya menjadi tidak berarti dokter sudah angkat tangan, pertanda menyerah. Sebuah keajaiban itu hadir justru dengan doa dan ibadah, dirinya menjadi sembuh.

Setelah hampir lima bulan sakit, kemudian berobat ke Singapura bahkan ke Australia sakitnya para dokter tidak bisa berbuat apa-apa. Tubuhnya terasa lemas dan tidak berdaya. Pernah sampai pada suatu malam salahsatu putranya mengatakan karena ayah jauh dari Allah sakitnya jadi tambah parah. Ucapan itu membuat hatinya bagai 'tersentil' dan merenungkan, barangkali apa yang diucapkan putranya memang benar. Sampai kemudian beliau memutuskan untuk menjalankan sholat lima waktu dengan tertib ditengah sakitnya.

Malam hari disaat menunaikan sholat tahajud, beliau menangis tersedu-sedu ingat akan dosa-dosa yang telah lalu sangat jauh dari Allah. Kehidupannya semakin sukses justru membuat dirinya lupa akan bersyukur atas Karunia Allah Subhanahu Wa Ta'ala. Air mata itu bagaikan merobek-robek hatinya yang mengalirkan semua dosa-dosanya dimasa lalu. Tak kuasa menahan semua derita dari akibat kesalahan yang pernah beliau lakukan.

Setiap menjalankan sholat lima waktu dan sholat tahajud tanpa terasa sudah sampai beberapa bulan. Keajaiban itu hadir tanpa disadarinya, tubuhnya mulai bisa digerakkan, tangan bisa diangkat untuk bertakbir. Tubuhnya untuk sujud sudah tidak lagi merasa sakit lagi. Dokter yang mengobatinya mengira sakitnya sudah tidak bisa disembuhkan. Anak-anak dan istrinya bahkan sampai syukuran di Rumah Amalia atas kesembuhan beliau.

Malam itu beliau mengatakan kepada saya, 'Sakit itu indah. karena sakit berasal dari Allah dan sembuh juga berasal dari Allah dan saya ikhlas menerima sakit karena selama ini jauh dariNya, satu-satu harapan kesembuhan, saya memohon kepada Allah.' Tutur beliau malam itu. Air matanya mengalir dengan penuh haru. Bersyukur kepada Allah atas kesembuhannya. Itulah Indahnya sakit bagi beliau. Subhanallah.

----
'Hai orang-orang yang beriman, jika kamu bertaqwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan kepadamu pedoman dan menghapuskan segala kesalahan-kesalahanmu dan mengampuni dosa-dosamu (QS. al-Anfal : 29).

Nikmat Allah SWT Meliputi Semua Kehidupan Mahluk

Saat itu kami; aku, bapak dan Shafiya sedang berada dalam perjalanan pulang ke rumah. Kami baru saja pulang dari menikmati semangkuk Soto Lamongan Cak Har *slruup* yang terkenal itu. Tepat di traffic light menuju ke arah Margorejo, mobil berhenti karena traffic light menunjukkan warna merah. Aku melayangkan pandangan ke seberang jalan. Nampak olehku sosok ibu pengemis dan anaknya yang sedang mesra bersenda gurau. Si anak rupanya haus dan alhamdulillah saat itu sang ibu ada rezeki untuk membelikan sekantung plastik es teh bagi si anak.

Dengan penuh rasa kasih sayang kantung plastik es teh itu dibuka dari ikatannya dan diminumkan ke si anak dengan menggunakan sedotan. Tampak si anak sangat menikmatinya, kehausan barangkali. Setelah si anak puas, ibu itu pun mencicipi es teh itu sedikit dan ternyata walaupun es teh itu hanya bersisa sangat sedikit, mungkin hanya satu tegukan lagi sisanya, sang ibu itu tetap menyimpan sisa itu dengan hati-hati dengan mengikat kembali kantung plastik es teh itu.. Subhanallah! Betapa orang seperti mereka sangat menghargai dan mensyukuri nikmat Allah yang diberikan kepada mereka serta menjaganya dengan sangat hati-hati.

Dadaku terasa sesak, bersamaan dengan itu air mata mulai menetes.. Teringat akan percakapanku dengan Shafiya di depot soto itu, "Nak, udah deh, ice tea-nya nggak usah dihabiskan. Ayo.. cepetan, Bapak sudah menunggu di mobil." Betapa bodohnya aku yang malah mengajarkan anakku untuk berbuat suatu hal yang mubazir yang mencerminkan rasa tidak bersyukur padaNya. Astagfirullah.

Bagi orang lain, peristiwa ini mungkin bukan sesuatu yang menarik untuk diceritakan. Tapi saya memaknainya lain. Alhamdulillah.Allah memberi saya petunjuk untuk selalu mensyukuri nikmatNya dalam ketaatan kepadaNya. Syukur Alhamdulillah. Ibu pengemis itu telah mengajarkan kepada saya cara untuk menghargai nikmatNya.

Fabiayyi aalaa rabbikumaa tukadzdzibaan? Maka nikmat Tuhan kamu manakah yang engkau dustakan? Pertanyaan retoris ini membuat saya tertunduk malu tiap kali mendengarnya. Betapa tidak! saya sering kali iri dengan nikmat yang ada pada orang lain. Saya memang tidak pernah sampai dalam tahap merasa dengki dan menginginkan agar nikmat orang lain itu hilang. Naudzubillah min Dzalik.. Tapi rasa iri saya membawa saya menjadi orang yang kufur nikmat. Padahal Allah selalu baik kepada saya. Dalam studi dan karir insya Allah saya selalu lancar. Ketika saya berdoa agar mendapat pendamping hidup yang sholeh, Allah dengan cepat mengabulkan permintaan saya. Ketika saya berdoa agar dikarunai anak yang menyejukkan pandangan orang tuanya, Allah dengan berbaik hati mengabulkan permohonan saya itu.. Namun.dari banyak nikmat yang ada, sedikit sekali saya mampu menyentuhkan dahi bersujud pada Allah untuk menyampaikan rasa terima kasih saya.



Nikmat.. begitu banyak yang saya lewatkan tanpa mensyukurinya. Ya Allah.. janganlah golongkan saya menjadi orang-orang yang merugi karena kufur terhadap nikmatMu... (Tuhan) yang Maha Pemurah, yang telah mengajarkan Al-Quran. Dia menciptakan manusia, mengajarnya pandai berbicara. Matahari dan bulan beredar menurut perhitungan. Dan tumbuh-tumbuhan dan pohon-pohonan keduanya tunduk kepadaNya. Dan Allah meninggikan langit dan Dia melektakkan neraca keadilan. Supaya kamu jangan melampaui batas tentang neraca itu. Dan tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan jangan kamu mengurangi neraca itu. Dan Allah telah meratakan bumi untuk makhluknya, di bumi itu ada buah-buahan dan pohon kurma yang mempunyai kelopak mayang.Dan biji-bijian yang berkulit dan bunga-bungaan yang harum baunya. Maka nikmat Tuhan kamu manakah yang kamu dustakan? (Surat Ar Rahman: 1-13)

Senin, 24 Mei 2010

Sholawat Kepada Nabi dengan Cara yang Beradab

Pada zaman sahabat dahulu, mereka terbiasa memanggil Nabi dengan sebutan yang sederajat seperti memanggil kawan-kawan mereka. Panggilan yang paling popular adalah ‘Ya Muhammad, Ya Ibnu Abdullah, Ya Muhammad bin Abdullah, dan Ya Abal Qosim’ (Wahai bapak Al Qosim, menunjuk kepada putera Nabi yang tertua bernama Al Qosim). Kebiasaan memanggil nama sederajat seperti panggilan sesama teman, kemudian dilarang oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Panggilan yang diperbolehkan adalah menyertakan pangkat yang layak untuk Nabi seperti: ‘Ya Rasulullah, Ya Nabiyallah’. (Lihat surat An Nur ayat 63 dalam Tafsir Ibnu Katsir, cetakan Darul Hadist, Qohirah, Mesir jilid VI, halaman 100).

Dalam tafsir Ibnu Katsir tersebut, Muqotil bin Hayyan mengatakan tentang tafsir ayat ini: “Janganlah engkau menyebut nama Nabi Muhammad jika memanggil Beliau dengan ucapan: ‘Ya Muhammad’ dan janganlah kalian katakan: ‘Wahai anak Abdullah’, akan tetapi Agungkanlah Beliau dan panggillah oleh kamu: ‘Ya Nabiyallah, Ya Rasulullah’.”

Imam Maliki, dari Zaid bin Aslam radhiyallahu ‘anhu mengatakan tentang arti surah An Nur ayat 63 di atas: “Telah memerintahkan Allah kepada sahabat Nabi dan kaum muslimin agar mengagungkan dan memuliakan Nabi.”

Berkata Ad Dahhak dan Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma tentang ayat diatas: “Dahulu para sahabat memanggil Nabi dengan panggilan ‘Ya Muhammad, Ya Abal Qosim’, maka Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah melarang mereka dari panggilan seperti itu demi mengagungkan Nabi-Nya. Maka para sahabat memanggil Nabi dengan panggilan ‘Ya Rasulullah, Ya Nabiyallah.” Pendapat ini juga dipegang oleh Mujahid dan Sa’id bin Jubair radhiyallahu ‘anhu.”

Setelah larangan Allah tersebut diturunkan, maka serentak seluruh sahabat Nabi meninggalkan cara menyebut atau memanggil nama Nabi seperti memanggil teman biasa, dan mereka mengubahnya menjadi ‘panggilan kehormatan’, sebagaimana yang telah diperintahkan Allah Subhanahu Wa Ta’ala dalam surat An Nur ayat 63 tersebut: “Janganlah kamu jadikan panggilan Rasul di antara kamu seperti panggilan sebahagian kamu kepada sebahagian (yang lain).....

Meskipun keterangan di atas sudah terang dan jelas, kenyataannya di zaman modern ini, masih ada juga sekelompok orang yang sudah dianggap golongan ‘intelektual Islam’ berani dengan lancar tanpa merasa bersalah menyebut dan memanggil nama Nabi tanpa gelar kehormatan. Entah karena terlalu sering membaca buku-buku karangan orang-orang Orientalis yang memang tidak menaruh rasa hormat kepada Rasulullah atau karena malas berpanjang-panjang menyebutkan nama Nabi bersama dengan ‘gelar kebesaran’ beliau. Apalagi jika mesti menambahkan ucapan ‘Shallallahu ‘Alaihi Wasallam’ setelah menyebut nama Nabi. Padahal, semua ini sudah diperintah Allah dan RasulNya untuk diamalkan.

Adapun jika mereka dianggap tidak tahu tentang larangan pada surat An Nur ayat 63 tersebut di atas, rasanya agak sulit diterima akal, sebab mereka dikenal sebagai orang yang tergolong intelektual, bukan golongan orang-orang awam apalagi orang-orang jahil (bodoh).

Dengan melihat kenyataan ini, rasanya setiap individu muslim wajib saling ingat-mengingatkan terhadap sesama saudara kita yang mulai rajin memanggil Nabi sedemikian itu. Jika tidak demikian, maka akan semakin banyak jumlah orang yang memanggil Nabi dengan panggilan rendahan itu. Apakah pantas kita umat Islam yang mengaku pengikut Qur’an dan Sunnah kemudian memanggil Nabi kita dengan panggilan “Muhammad” saja tanpa gelar…? Sementara memanggil seorang Ketua RT saja kita menyebut Pak RT. Apalagi memanggil seorang Presiden, orang akan melekatkan bermacam-macam gelar kehormatan dan kemuliaan! Nah, bagaimana dengan memanggil seorang Rasul yang merupakan semulia-mulia makhluk ciptaan Allah....?

Rasul telah bersabda dalam hadisnya yang masyhur: “orang yang kikir adalah orang yang tidak mau bersholawat kepadaku ketika namaku disebut di dekatnya.” Sementara Allah sendiri di dalam Al Qur’an yang suci senantiasa bersholawat dengan meletakkan pangkat kebesaran Nabi ketika Allah menyebutkan nama Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.

Selain kebiasaan memanggil Nabi dengan ‘panggilan rendahan’ itu, akhir-akhir ini beredar juga sebuah ajaran baru yang mengatakan bahwa menyebut atau memanggil nama Nabi dengan memakai ‘gelar’ di dalam lafazh sholawat adalah suatu perbuatan bid’ah. Dan mereka dimana-mana secara tegas mengatakan bahwa semua bid’ah adalah sesat dan akan dicampakkan ke dalam neraka. Oleh karena itu mereka mengatakan bersholawat kepada Nabi cukup dengan ucapan, “Allahumma sholli ‘ala Muhammad, wa ‘ala ali Muhammad” saja tanpa gelar-gelar yang menunjukkan kebesaran Nabi. Padahal kalau Sholawat ini diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, artinya adalah: "Ya Allah berilah rahmat kepada si Muhammad dan Keluarga si Muhammad". Kurang beradab, bukan.....? Alasan mereka bershalawat seperti itu karena tidak ada didapati sepotong hadis pun dari Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam yang mengajarkan bersholawat dengan menyertakan ‘gelar’ pada nama Nabi

Benarkah demikian adanya…?

Kami mencoba meneliti beberapa potong hadis dari beberapa kitab hadis dan alhamdulillah kami menemukannya. Berikut ini kami sampaikan beberapa hadis tentang sholawat yang memakai gelar saat menyebut nama Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam:

  1. Dari Abu Sa’id Al Khudri ra.hu dia berkata, kami pernah bertanya kepada Nabi SAW, “Wahai Rasulallah, kami telah mengetahui cara mengucapkan salam kepadamu, tetapi bagaimanakah cara kami bersholawat kepadamu?” Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menjawab: “Ucapkanlah oleh kamu sekalian, “Allahumma sholli ‘ala Muhammadin ‘abdika wa rasulika kama shollaita ‘ala Ibrohim..( Ya Allah, limpahkanlah rahmatMu kepada Muhammad hamba-Mu dan Rasul-Mu sebagaimana Engkau telah melimpahkan rahmat-Mu kepada Ibrohim..).” (Hadis Riwayat Bukhari, Bab Sholawat Atas Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam no.6358).
  2. Dari Abu Hurairah ra.hu, dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, beliau telah bersabda, “Barangsiapa ingin pahalanya ditimbang dengan timbangan yang lebih berat dan sempurna ketika bersholawat atas kami, dan bersholawat atas ahli bait kami, hendaklah orang itu mengucapkan sholawat seperti ini: “Allahumma sholli ‘ala Muhammadinin Nabiyyi wa azwajihi ummahatil mu’miniina wadzuriyyatihi wa ahli baitihi kama shollayta ‘ala ali Ibrohim innaka hamiidun majid” (Ya Allah, limpahkanlah rahmatMu kepada Muhammad sang Nabi itu, juga kepada isteri-isterinya sebagai ibu-ibunya orang mu’min, kepada keturunan beliau dan keluarga beliau sebagaimana Engkau telah melimpahkan rahmat-Mu kepada keluarga Ibrohim. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Maha Mulia).” (Hadis Riwayat Abu Dawud, Bab Sholawat Atas Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam Dalam Sholat Setelah Tasyahhud, nomor 982).

Keterangan dua hadis di atas cukup untuk menjadi bukti bagi kita bahwa bersholawat dengan menyertakan pangkat ketika menyebut nama Nabi adalah sebuah perbuatan yang sunnah, bukan bid'ah, sebagaimana yang sering dituduhkan oleh segelintir orang di kalangan ummat Islam selama ini. Justru sholawat dengan memakai gelar telah diperintahkan oleh Nabi dalam hadis-hadis shohih, bahkan telah menjadi amalan para Sahabat, dan generasi Salafus Sholih.

Wallahu a’lam bishshowab




Bahu-Membahu Dalam Empisode Kehidupan

Jam 6:30 pagi warung sudah mulai dibuka. Masakan yang dimasak dirumah dibawa kepasar, anak – anak bergotong royong. Anak pertama dan bapak bertugas membuka warung. Mereka membawa termos yang berisi nasi panas mengepul dan ceret teko berisi air yang tidak kalah panasnya. Anak kedua bertugas membawa masakan gulai ikan dan lain – lain. Anak ketiga bertugas membawa kue, perkedel dan telur goreng yang masih hangat. Anak keempat tugasnya agak ringan, dia membawakan serbet dan taplak yang baru selesai dicuci kemarin.
Keempat anak tersebut pergi kepasar dengan mengenakan seragam sekolah. Dari pasar, mereka langsung menuju sekolahnya masing – masing.

Sepulang sekolah, semua anaknya secara rutin dan otomatis akan pulang. Bukan ke rumah, melainkan menuju warung. Mereka makan siang di luar, di warung nasi milik mereka. Pada menit berikutnya mereka akan berebutan untuk membaca koran langganannya. Kemudian bapak istirahat siang, dan anak – anak menggantikan sementara tugas bapak diwarung. Tidak jarang, salah satu anaknya harus menggeser dan naik ke atas bangku untuk melayani pembeli. Karena umur dan fisiknya belumlah cukup untuk melakukan tugas tersebut. Anak yang lain mencuci piring dan mengelap meja. Untuk sementara, warung dijaga oleh petugas berseragam. Bukan petugas sebagaiman yang biasa kita lihat di restoran fastfood. Namun petugas anak – anak yang berseragam sekolah.

Kegiatan rutin tahunan yang dilakukan bapak mereka setiap bulan juli – agustus adalah meminjam uang ke sebuah lembaga keuangan yang terdapat di desa tersebut. Penduduk setempat biasa menyebutnya bank keliling. Maklum, petugas menagih pelunasan hutang secara harian dengan cara berkeliling dari satu nasabah ke nasabah lainnya. Pinjaman tersebut terpaksa dilakukan untuk melunasi bayaran sekolah yang menunggak dalam bilangan bulan yang cukup banyak. Ke tujuh anaknya yang sekolah membutuhkan biaya yang luamayan besar, warung tersebut tidak bisa memenuhi semua kebutuhan. Kalau pinjaman masih juga tidak mencukupi, maka bapak tersebut akan pergi menghadap ke sekolah. Agar anaknya bisa mendapatkan keringanan untuk menunda pembayaran dan diizinkan untuk ikut ujian.

Waktu terus melesat. Kesulitan ekonomi dalam mencukupi setiap kebutuhan selalu datang setiap saat. Bukan hal yang aneh jika keluarga tersebut mengalami pengusiran dari satu kontrakan ke kontrakan yang lain. Mereka, sebuah keluarga perantauan dari tanah seberang yang jauh dari sanak saudara, seperti biasa, motif ekonomilah yang menghantarkan mereka berjauhan dengan sanak family. Mereka berusaha untuk bertemu dengan nasib yang lebih baik. Semoga dengan begitu, takdir akan mempertemukan mereka dengan segala mimipi yang mereka punya. Orang tuanya menyimpan mimpi agar ke tujuh anaknya bisa sekolah dengan baik dan bisa mendapatkan wawasan yang baik. Mereka tidak ingin terkungkung oleh kondisi kesulitan ekonomi yang menjeratnya.

Walaupun tidak punya uang, sang bapak senantiasa mewajibkan diri untuk membeli koran harian nasional. Bapak rutin membelikan anak – anaknya majalah yang sudah kedaluarsa. Semua diajarkan untuk gemar membaca.



Perjuangan orang tua tersebut tidak sia – sia. Hampir semua anaknya mendapatkan beasiswa. Terlebih kedua anaknya bisa masuk ke sekolah tinggi akuntansi yang dibiayai negara dan menjadi pegawai Depkeu. Bahkan salah satu dari anak tersebut bisa menyelesaikan beasiswa master di Australia dengan program IT. Anaknya sering mengikuti pelatihan ke luar negeri dan menjadi pengajar yang sangat dibutuhkan didepartemen tempatnya bekerja. Kemudian, separuh dari anaknya bisa lulus sarjana dan mempunyai pekerjaan yang relatif baik. Separuhnya lagi menjadi pedagang kecil yang mandiri dan tidak tergantung kepada orang tua.

Untuk ukuran dengan latar belakang ekonomi seperti itu adalah suatu hal yang sangat ajaib. Sebuah harmonisasi cerita yang tersimpan sejuta kisah dalam melewati setiap babak peristiwa hingga mencapai buah yang manis untuk dinikmati sekarang. Buah dari kerja keras dan do’a. dan kebaikan Allah semata hingga menggiring semua langkah setiap individu pada keluarga tersebut mempunyai daya juang yang tinggi, mempunyai cita – cita yang tinggi pula. Allah memberikan karuniaNYA dengan cara memberikan kekuatan kepada mereka semua untuk bisa melewati setiap proses penempaan kesulitan. Semua kesulitan tersebut mereka lewati dengan bahu membahu dan kerjasama. Jika satu kakaknya telah lulus dan mempunyai penghasilan, maka secara otomatis akan terjadi estafet tanggung jawab. Dia akan mengambil peran untuk mengambil tanggung jawab ekonomi keluarga secara sukarela.

Kita pun, sangat mungkin untuk bisa menjadi seperti itu, tidak mesti dalam alur cerita yang sama persis. Namun semua bisa kita terapkan dalam kehidupan kita sehari – hari. Bahwa kita bisa bekerja sama dengan adik, kakak, orang tua dan saudara lainnya. Kesulitan akan lebih mudah kita atasi dengan kebersamaan dan gotong royong. Hal tersebut bisa dibina dan ditanamkan terlebih dahulu untuk diri kita sendiri. Kita bisa mengukurnya dengan barometer sejauh mana tingkat kepedulian kita terhadap orang tua kita, sejauh mana tingkat kepekaan kita untuk meraba setiap kesulitan kakak dan adik kita? Sudahkah kita meluangkan waktu untuk bersilaturahmi dengan adik dan kakak kita yang sudah hidup terpisah? Atau jangan – jangan hanya untuk sekadar meneleponpun kita enggan untuk memulai. Percayalah, bahwa kita butuh kedekatan dengan saudara sendiri. Kita butuh berbincang dan berbagi rasa dengan mereka, kita pun butuh untuk melihat mereka bahagia. Mengapa untuk teman sejawat di kantor kita bisa seperti saudara sedangkan untuk saudara sendiri malah seperti tidak ada ikatan apa – apa? Mulai saja sekarang, tidak ada kata terlambat… Semoga dengan kesungguhan kita dalam menjalin persaudaraan akan mendatangkan karunia Allah kepada kita. Hingga kita merasa mudah dan ringan dalam melewati setiap episode cerita hidup.

Fadhilah Istighfar

Fadhilah Istighfar

By: administrator

Pernah suatu ketika Imam Hasan al-Basri didatangi oleh tamu. Tamu pertama, menyampaikan perihal kekeringan, Tamu kedua, perihal hutang, tamu ketiga, perihal keturunan. Imam Hasan al-Basri menjawab semua keluhan ketiga tamunya dengan membacakan satu ayat di dalam al-Quran.

'Mohon ampunlah kepada Tuhanmu. Sesungguhnya, Dia Maha Pengampun. Niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebatnya, melimpahkan harta dan anaka-anak bagimu, serta mengadakan kebun-kebun untukmu dan mengadakan sungai-sungai untukmu. (QS. an-Nuh: 10-12).

Paling tidak ada empat fadhilah Istighfar yang terkandung di dalam tiga ayat di dalam surat Nuh. Mari kita kita perhatikan fadhilah istighfar berikut dibawah ini.

Pertama, orang yang memiliki kebiasaan beristighfar tidak akan mengalami kekeringan. Allah Subhanahu Wa Ta'ala akan selalu melimpahkan air hujan tanpa harus menjadi banjir atau mencana bagi orang tersebut.

Kedua, orang yang memiliki kebiasaan istighfar, Allah akan senantiasa mengucurkan rizki dan menghindarkan diri kita dari lilitan hutang sehingga harta yang kita miliki menjadi membawa berkah bagi diri kita dan keluarga kita maupun untuk orang-orang sekeliling kita.

Ketiga, orang yang memiliki kebiasaan istighfar, Allah akan memberikan momongan atau anak-anak yang sholeh dan berbakti kepada kedua orang tuanya sehingga di dalam keluarga memiliki ketenteraman dan kebahagiaan selalu.

Keempat, orang yang memiliki kebiasaan istighfar, Allah Subhanahu Wa Ta'ala akan memberikan kita tempat usaha yang diberkahi dengan digambarkan dengan memberikan kebun dan sungai-sungai dengan pemandangan yang indah.

Dari keempat fadhilah istighfar diatas bahwa beristighfar adalah kemampuan kita untuk melakukan instropeksi diri atau yang disebut dengan 'Muhasabah' maka kita mengetahui penyebab akar masalah sekaligus kita menemukan solusi dari masalah itu sendiri. Itulah makna fadhillah istighfar.

Minggu, 23 Mei 2010

Sholawatan Nurul Madinah As-Syifa Al-Karomah

Kegiatan Sholawatan Nurul Madinah ini di Musholla Al-Karomah baru berjalan kurang lebih 1 bulan ini namun alhamdulillah peminat yang mengikuti acara sholawatan nurul madinah ini cukup banyak. Kegiatan Sholawatan Nurul Madinah ini dipimpin oleh Ustad Raden Sigit Permadi Sadewa dan juga di dampingi oleh Santri Songo siswa dari Ustad Raden Sigit Permadi Sadewa. Dengan adanya Sholawatan ini memperkokoh ikatan tali silaturahmi di antara sesama umat muslim (hablum minannas) dan juga mendekatkan diri kepada Allah SWT melalui jalan Sholawatan tersebut. Marilah kawan-kawan semua yang ingin mendekatkan diri dengan Allah SWT bisa bergabung bersama kami Sholawatan Nurul Madinah As-Syifa Al-Karomah